23.4.12
Masalah Yang Timbul Akibat Keanekaragaman Masyarakat Multikuttural
Bab I
Pendahuluan
A.
Daerah Istimewa Yogyakarta
Daerah Istimewa Yogyakarta adalah Daerah Istimewa setingkat Provinsi di Indonesia yang meliputi (Negara) Kesultanan Yogyakarta dan [Negara] Kadipaten Paku Alaman. Daerah Istimewa Yogyakarta yang terletak di
bagian selatan Pulau Jawa bagian tengah dan berbatasan dengan Provinsi Jawa Tengah dan Samudera Hindia. Daerah Istimewa yang memiliki luas 3.185,80
km2 ini terdiri atas
satu kota dan empat kabupaten, yang terbagi lagi menjadi 78 kecamatan dan 438
desa/kelurahan. Menurut sensus penduduk 2010 memiliki jumlah penduduk 3.452.390
jiwa dengan proporsi 1.705.404 laki-laki dan 1.746.986 perempuan, serta
memiliki kepadatan penduduk sebesar 1.084 jiwa per km2.
Penyebutan
nomenklatur Daerah Istimewa Yogyakarta yang terlalu panjang menyebabkan sering
terjadinya penyingkatan nomenkaltur menjadi DI Yogyakarta atau DIY. Daerah
Istimewa ini sering diidentikkan dengan kota Yogyakarta sehingga secara kurang tepat disebut dengan
Jogja, Yogya, Yogyakarta, Jogjakarta. Walaupun memiliki luas terkecil kedua
setelah Provinsi DKI Jakarta, Daerah Istimewa ini terkenal di tingkat nasional dan
internasional. Daerah Istimewa Yogyakarta menjadi tempat tujuan wisata andalan
setelah Provinsi Bali. Selain itu Daerah Istimewa Yogyakarta menjadi daerah
terparah akibat bencana
gempa pada
tanggal 27 Mei 2006 dan erupsi Gunung
Merapi pada
medio Oktober-November 2010.
B.
Asal Usul
Sebelum
Indonesia merdeka, Yogyakarta merupakan daerah yang mempunyai pemerintahan
sendiri atau disebut Zelfbestuurlandschappen/Daerah Swapraja,
yaitu Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman. Kasultanan
Ngayogyakarta Hadiningrat didirikan oleh Pangeran Mangkubumi yang
bergelar Sultan Hamengku Buwono I pada
tahun 1755, sedangkan
Kadipaten Pakualaman didirikan oleh Pangeran Notokusumo (saudara Sultan
Hamengku Buwono II) yang bergelar Adipati Paku Alam I pada tahun 1813.
Pemerintah Hindia Belanda mengakui Kasultanan dan Pakualaman sebagai kerajaan
dengan hak mengatur rumah tangganya sendiri yang dinyatakan dalam kontrak
politik. Kontrak politik yang terakhir Kasultanan tercantum dalam Staatsblaad 1941
Nomor 47, sedangkan kontrak politik Pakualaman dalam Staatsblaad 1941
Nomor 577. Eksistensi kedua kerajaan tersebut telah mendapat pengakuan dari
dunia internasional, baik pada masa penjajahan Belanda, Inggris,
maupun Jepang. Ketika
Jepang meninggalkan Indonesia, kedua kerajaan tersebut telah siap menjadi
sebuah negara sendiri yang merdeka, lengkap dengan sistem pemerintahannya
(susunan asli), wilayah dan penduduknya.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia (RI), Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII menyatakan
kepada Presiden RI, bahwa Daerah Kasultanan Yogyakarta
dan Daerah Pakualaman menjadi wilayah Negara RI, bergabung menjadi satu
kesatuan yang dinyatakan sebagai Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Sri Sultan
Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII sebagai Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah bertanggungjawab langsung kepada Presiden RI. Hal tersebut
dinyatakan dalam:
1.
Piagam kedudukan Sri Sultan Hamengku
Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII tertanggal 19 Agustus 1945 dari
Presiden RI.
2.
Amanat Sri Sultan Hamengku Buwono IX
dan Sri Paku Alam VIII tertanggal 5 September 1945 (dibuat
secara terpisah).
3.
Amanat Sri Sultan Hamengkubuwono IX
dan Sri Paku Alam VIII tertanggal 30 Oktober 1945 (dibuat
dalam satu naskah).
Dalam
perjalanan sejarah selanjutnya kedudukan DIY sebagai Daerah Otonom setingkat Provinsi sesuai
dengan maksud pasal 18 Undang-undang Dasar 1945 (sebelum
perubahan) diatur denganUndang-undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang
Undang-undang Pokok Pemerintahan Daerah. Sebagai tindak lanjutnya kemudian
Daerah Istimewa Yogyakarta dibentuk dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang
Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1950
sebagaimana telah diubah dan ditambah terakhir dengan Undang-undang Nomor 9
Tahun 1955 (Lembaran Negara Tahun 1959 Nomor 71, Tambahan Lembaran Negara Nomor
1819) yang sampai saat ini masih berlaku. Dalam undang-undang tersebut
dinyatakan DIY meliputi Daerah Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Daerah
Kadipaten Pakualaman. Pada setiap undang-undang yang mengatur Pemerintahan
Daerah, dinyatakan keistimewaan DIY tetap diakui, sebagaimana dinyatakan
terakhir dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004.
Dalam
sejarah perjuangan mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),
DIY mempunyai peranan yang penting. Terbukti pada tanggal 4 Januari 1946 sampai
dengan tanggal 27 Desember 1949[7] pernah
dijadikan sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia. Tanggal 4 Januari inilah
yang kemudian ditetapkan menjadi hari Yogyakarta Kota Republik pada tahun 2010. Pada saat
ini Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dipimpin
oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Kadipaten Pakualaman dipimpin
oleh Sri Paku Alam IX, yang
sekaligus menjabat sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DIY. Keduanya memainkan
peran yang menentukan dalam memelihara nilai-nilai budaya dan adat
istiadat Jawa dan
merupakan pemersatu masyarakat Yogyakarta.
C.
Sosial Budaya
Kondisi
sosial budaya di Daerah Istimewa Yogyakarta antara lain meliputi Kependudukan;
Tenaga Kerja dan Transmigrasi; Kesejahteraan Sosial; Kesehatan; Pendidikan;
Kebudayaan; dan Keagamaan
a)
Kependudukan dan
tenaga kerja
Laju pertumbuhan penduduk di DIY antara 2003-2007
sebanyak 135.915 jiwa atau kenaikan rata-rata pertahun sebesar 1,1%. Umur Harapan
Hidup (UHH) penduduk di DIY menunjukkan kecenderungan yang meningkat dari 72,4
tahun pada tahun 2002 menjadi 72,9 tahun pada tahun 2005. Ditinjau dari sisi
distribusi penduduk menurut usia, terlihat kecenderungan yang semakin meningkat
pada penduduk usia di atas 60 tahun.
Proporsi
distribusi peduduk berdasarkan usia produktif memiliki akibat pada sektor
tenaga kerja. Angkatan kerja di DIY pada 2010 sebesar
71,41%. Di sektor ekonomi yang menyerap tenaga kerja paling besar adalah sektor
pertanian kemudian disusul sektor jasa-jasa lainnya. Sektor yang potensial
dikembangkan yaitu sektor pariwisata, sektor perdagangan dan industri terutama
industri kecil menengah serta kerajinan. Pengangguran di DIY menjadi
problematika sosial yang cukup serius karena karakter pengangguran DIY
menyangkut sebagian tenaga-tenaga profesional dengan tingkat pendidikan tinggi.
Salah satu
cara untuk mengatasi masalah kependudukan dan ketenagakerjaan adalah dengan
mengadakan program transmigrasi. Pelaksanaan pemberangkatan
transmigran asal DIY sampai pada tahun 2008 melalui program transmigrasi
sejumlah 76.495 Kk atau 274.926 Jiwa. Ditinjau dari pola transmigrasi sudah
mencerminkan partisipasi dan keswadayaan masyarakat, melalui Transmigrasi Umum
(TU), Transmigrasi Swakarsa Berbantuan (TSB) dan Transmigrasi Swakarsa Mandiri
(TSM). Untuk pensebarannya sudah mencakup hampir seluruh Provinsi. Rasio jumlah
tansmigran swakarsa mandiri pada 2010 mencapai 20% dari total transmigran yang
diberangkatkan.
b)
Kesejahteraan dan Kesehatan
Sebagai
salah satu aspek yang penting dalam kehidupan, pembangunan kesehatan menjadi
salah satu instrumen di dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Tahun
2007 jumlah keluarga miskin sebanyak 275.110 RTM dan menerima bantuan raskin
dari pemerintah pusat (meningkat 27 persen dibanding periode tahun 2006
sebanyak 216.536 RTM). Penduduk DIY menurut tahapan kesejahteraan tercatat
bahwa pada tahun 2007 kelompok pra sejahtera 21,12%; Sejahtera I 22,70%;
Sejahtera II 23,69%; Sejahtera III 26,83%; dan Sejahtera III plus 5,66% . Tingkat
kesejahteraan pada tahun 2010 meningkat dengan penurunan persentase penduduk
miskin menjadi 16,83%.
Arah
pembangunan kesehatan di DIY secara umum adalah untuk mewujudkan Provinsi DIY
yang memiliki status kesehatan masyarakat yang tinggi tidak hanya dalam batas
nasional tetapi memiliki kesetaraan di tataran internasional khususnya Asia Tenggara dengan
mempertinggi kesadaran masyarakat akan pentingnya hidup sehat, peningkatan jangkauan
dan kualitas pelayanan kesehatan serta menjadikan DIY sebagai pusat mutu dalam
pelayanan kesehatan, pendidikan pelatihan kesehatan serta konsultasi kesehatan.
Hasil Riset Kesehatan Dasar Nasional Tahun 2010 menempatkan DIY sebagai
provinsi dengan indikator kesehatan terbaik dan paling siap dalam
mencapai MDG’s.
Pada tahun
2010 capaian indikator kesehatan untuk umur harapan hidup berada pada level
usia 74,20 tahun. Angka kematian balita sebesar 18/1000 KH, angka kematian bayi
sebesar 17/1000 KH, dan angka kematian ibu melahirkan sebesar 103/100.000 KH.
Prevalensi gizi buruk sebesar 0.70%, Cakupan Rawat Jalan Puskesmas 16% sedangkan Cakupan Rawat
Inap Rumah Sakit sebesar 1,32%.
Dari 118
Puskesmas, 20% puskesmas telah menerapkan sistern manajemen mutu melalui
pendekatan ISO 9001:200; 7% rumah sakit telah menerapkan ISO 9001:200; 25%
rumah sakit di DIY telah terakreditasi dengan 5 standar; 17% RS terakreditasi
dengan 12 standar; dan 5% RS telah terakreditasi dengan 16 standar pelayanan.
Sarana pelayanan kesehatan yang memiliki unit pelayanan gawat darurat meningkat
menjadi 40% dan RS dengan pelayanan kesehatan jiwa meningkat menjadi 9%.
Meskipun demikian cakupan rawat jalan tahun 2006 baru mencapai 10% (nasional
15%) sementara untuk rawat inap 1,2% (nasional 1,5%). Rasio pelayanan kesehatan
dasar bagi keluarga miskin secara cuma-cuma di Unit Pelaksana Teknis Dinas
Kesehatan Provinsi maupun Kabupaten/Kota telah mencapai 100%. Rasio dokter umum per 100.000 penduduk
menunjukkan tren meningkat sebesar 39,64 pada tahun 2006. Adapun program
jamkesos tahun 2010 dianggarkan Rp. 34.978.592.000,00.
Penyakit jantung dan stroke telah menjadi pembunuh nomor
satu di DIY sementara faktor risiko penyakit jantung penduduk DIY ternyata
cukup tinggi. Rumah tangga di DIY yang tidak bebas asap rokok sebesar 56%, sedangkan remaja yang perokok aktif sebesar
9,3%. Sebanyak 52% penduduk DIY kurang melakukan aktifitas olahraga dan hanya
19,8% penduduk DIY yang mengkonsumsi serat mencukupi. Dalam tiga tahun terakhir
angka obesitas pada anak-anak di DIY meningkat hampir 7%.
c) Kebudayaan
DIY
mempunyai beragam potensi budaya, baik budaya yang tangible (fisik)
maupun yang intangible (non fisik). Potensi budaya yang
tangible antara lain kawasan cagar budaya dan benda cagar budaya sedangkan
potensi budaya yang intangible seperti gagasan, sistem nilai atau norma, karya
seni, sistem sosial atau perilaku sosial yang ada dalam masyarakat.
DIY memiliki
tidak kurang dari 515 Bangunan Cagar Budaya yang tersebar di 13 Kawasan Cagar
Budaya. Keberadaan aset-aset budaya peninggalan peradaban tinggi masa lampau
tersebut, dengan Kraton sebagai institusi warisan adiluhung yang masih
terlestari keberadaannya, merupakan embrio dan memberi spirit bagi tumbuhnya
dinamika masyarakat dalam berkehidupan kebudayaan terutama dalam berseni budaya
dan beradat tradisi. Selain itu, Provinsi DIY juga mempunyai 30 museum, yang dua diantaranya yaitu museum
Ullen Sentalu dan museum Sonobudoyo diproyeksikan menjadi museum internasional.
Pada 2010, persentase benda cagar budaya tidak bergeak dalam kategori baik
sebesar 41,55%, seangkan kunjungan ke museum mencapai 6,42%.
D.
Bentuk Keistimewaan
Bentuk keistimewaan bagi Pemerintahan DI Yogyakarta saat ini masih
menjadi ranah politik di DPR Pusat. Namun menurut UU Nomor
22 Tahun 1948 (yang juga menjadi landasan UU Nomor 3 Tahun 1950 mengenai
pembentukan DIY), Pemerintahan di Daerah Istimewa tidak berbeda dengan daerah biasa.
Yang berbeda/yang menjadikan istimewa adalah mengenai pengangkatan kepala
daerahnya dan juga boleh memiliki wakil kepala daerah jika daerah istimewa
tersebut merupakan gabungan dari dua daerah atau lebih. Sebab pada saat itu
daerah biasa tidak dapat memiliki wakil kepala daerah. Hanya itulah satu-satunya bentuk
keistimewaan dan tidak ada yang lain.
Adapun alasan
keistimewaan Yogyakarta diakui oleh pemerintahan RI menurut UU Nomor 22 Tahun
1948 (yang juga menjadi landasan UU Nomor 3 Tahun 1950 mengenai pembentukan
DIY), adalah Yogyakarta mempunyai hak-hak asal-usul dan di jaman sebelum
Republik Indonesia sudah mempunyai pemerintahan sendiri yang bersifat Istimewa
(zelfbestuure landschappen).
Permasalahan
GEJOLAK
KONFLIK DI BUMI NGAYOGYAKARTA HADININGRAT
Pekan awal di bulan
penghujung tahun 2010 seperti menjadi Pekan Kemarahan, bagaikan membangunkan
macan tidur. Itulah yang saat itu terjadi di Yogyakarta. Masyarakatnya yang
selama ini adem ayem, murah senyum, menjadi beringas
dan marah.. Wajah memerah juga secara serentak di mana-mana. Bahkan hampir tak
ada ruang yang terbebas dari orang marah. Di jalan, di warung, kafe hingga di
kantor-kantor yang dihuni orang-orang terdidik. Celakanya, sasaran kemarahan
mereka tertuju pada satu orang, yakni orang yang telah berani-beraninya
menyebut kata "monarki" yang membuat alergi warga Yogya. Kata monarki
meluncur dari penjelasan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengenai Rancangan
Undang-Undang Keistimewaan (RUUK) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Dalam
pengantar sidang kabinet pada 26 November yang membahas RUUK DIY, presiden
memaparkan model tata pemerintahan daerah Yogya yang formulanya tengah
dirancang. SBY menghendaki adanya suatu pranata yang menghadirkan sistem
nasional NKRI, keistimewaan DIY yang harus dihormati dan dijunjung tinggi,
serta nilai-nilai demokrasi dalam RUU tentang Keistimewaan DIY. Lalu, kata-kata
yang kontroversial itu menyusul."Nilai-nilai demokrasi tidak boleh
diabaikan. Oleh karena itu, tidak boleh ada sistem monarki yang bertabrakan
dengan konstitusi maupun nilai-nilai demokrasi," kata Presiden. Dari
sinilah petaka itu berawal. Bak bara tersiram bensin, amarah itu berkobar,
menjalar ke segala arah. Dari Jakarta merebak ke Yogya. Dari Sultan menular ke
para kawula. Dari media, pengamat sampai orang yang tidak memiliki kepentingan
(langsung) pun turut menyemarakkan pesta kemarahan kolosal ini. Kegaduhan ini
kian gemuruh oleh pemberitaan media yang mebombardir ruang layar kaca, halaman
koran dan monitor laman-laman berita. Semua jenis berita disajikan, dari berita
selintas, analisa hingga talkshow,siaran,langsung.
Sentak pula rakyat di seluruh pelosok Negri semakin bersimpati dan berempati akan keadaan para saudara-saudara di Yogyakarta.Reaksi gerakan social aktif dilakukan oleh berbagai elemen masyarakat, dari warga sipil, mahasiswa, LSM, serta para pengamat social yang melihat dengan berbagai sudut pandang. Bahwa walau bagaimanapun kecerobohan SBY melontarkan kata "monarki" adalah salah. Salah waktu, salah tempat dan salah strategi.
Sentak pula rakyat di seluruh pelosok Negri semakin bersimpati dan berempati akan keadaan para saudara-saudara di Yogyakarta.Reaksi gerakan social aktif dilakukan oleh berbagai elemen masyarakat, dari warga sipil, mahasiswa, LSM, serta para pengamat social yang melihat dengan berbagai sudut pandang. Bahwa walau bagaimanapun kecerobohan SBY melontarkan kata "monarki" adalah salah. Salah waktu, salah tempat dan salah strategi.
Salah waktu karena masyarakat Yogyakarta baru saja
dilanda bencana letusan gunung Merapi yang belum usai melewati tahap rehabilitasi.
Juga salah waktu, sebab rancangan undang-undang ini sudah lama tertunda-tunda.
Bahkan kegagalan DPR periode 2004-2009 mengesahkan RUUK ini terhalang oleh
Fraksi Demokrat, partai yang dilahirkan dan dibina SBY. Dari tujuh hal terkait
keistimewaan Yogyakarta, enam di antaranya sudah disepakati dan hanya
menyisakan soal mekanisme pemilihan kepala daerah yang belum disepakati.
Jadi, bagaimana mungkin SBY meminta publik untuk tidak mereduksi persoalan keistimewaan Yogya hanya pada tataran suksesi gubernur.Memang tinggal masalah itu yang menggantung selama sewindu sejak konsep RUUK berada di tangan pemerintah. Mereka sudah jengah menanti usainya pembahasan RUUK ini dan lalu disulut dengan kata "monarki".
Jadi, bagaimana mungkin SBY meminta publik untuk tidak mereduksi persoalan keistimewaan Yogya hanya pada tataran suksesi gubernur.Memang tinggal masalah itu yang menggantung selama sewindu sejak konsep RUUK berada di tangan pemerintah. Mereka sudah jengah menanti usainya pembahasan RUUK ini dan lalu disulut dengan kata "monarki".
Salah tempat, tidak seharusnya
SBY yang bergelar doktor itu menyebut kata "monarki" menyangkut
keistimewaan Yogya. Padahal biasanya ia paling bisa menempatkan diri, dengan
siapa berhadapan dan kata apa yang pantang diucapkan. Presiden mestinya sangat
mafhum bagaimana kawula Yogya telah lama nyaman hidup dalam model pemerintahan
kerajaan. Pengabdian adalah hal terluhur yang mereka punya dan lakukan terhadap
baginda raja terpuja.Serta jangan ada yang mengusik hukum kekekalan raja, maka
mala petaka akan tiba.
Salah strategi, karena sidang
kabinet itu terbagi dalam dua sesi. Pada sesi pengantar bersifat terbuka dan
diliput media. Lalu break dan dilanjutkan sidang tertutup dengan bahasan yang
lebih mendalam. Dan sewaktu sidang kabinet tentang RUUK DIY, presiden melempar
kata yang sensitif itu pada sesi pengantar yang dikonsumsi media.
Silang pendapat antara Presiden SBY dan Sri
Sultan itu terkait dengan pembahasan Rancangan Undang-Undang Keistimewaan
Daerah Istimewa Yogyakarta (RUUK DIY). RUUK DIY sebenarnya sudah disusun oleh
Pemerintah Provinsi DIY pada 2000 dan diajukan ke pemerintah pusat agar dibahas
di DPR pada 2002. Namun, karena DIY bukan provinsi yang ada gerakan separatis
seperti di Papua dan Aceh, pembahasan mengenai RUUK DIY tidak mendapatkan
tanggapan positif dari pemerintah dan Dewan saat itu.Sebenarnya RUUK DIY
sepatutnya membahas apa saja keistimewaan DIY. Bukan hanya persoalan rekrutmen
kepala daerah, melainkan lebih dari itu, yakni hak-hak dan wewenang istimewa
apa yang dimiliki Pemprov DIY dalam melaksanakan pemerintahannya, baik di bidang
politik, sosial, budaya, pertanahan, tata ruang, dan pendidikan.Entah mengapa,
kontroversi mengenai keistimewaan DIY justru dipersempit menjadi apakah Raja
atau Sultan Yogyakarta otomatis menjadi Gubernur DIY dan Paku Alam otomatis
menjadi Wakil Gubernur DIY. Jika merujuk pada sejarah, keistimewaan Yogyakarta
diakui sejak masa kolonial Belanda dan Jepang. Sultan Hamengku Buwono IX adalah
penguasa Yogyakarta yang diberi wewenang penuh oleh Pemerintah Hindia Belanda
di Batavia untuk mengatur pemerintahan di Yogyakarta.
mengambil alih kekuasaan kolonial dari tangan Belanda pada 1942, penguasa militer Dai Nippon di Jakarta juga mengangkat Sultan Yogyakarta sebagai penguasa tunggal di Yogyakarta. Walau Sri Sultan Hamengku Buwono IX berpendidikan Belanda, saat Belanda kembali ke Indonesia setelah Jepang menyerah kepada sekutu pada 15 Agustus 1945, beliau menunjukkan sikap nasionalismenya yang tinggi sebagai pendukung kemerdekaan Republik Indonesia.Seperti para pemimpin di Aceh, Sultan Yogyakarta juga mendukung proklamasi kemerdekaan RI dan menyatakan bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tak cuma itu, pada 5 September 1945 Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII membuat Maklumat Politik menegaskan kembali bergabungnya Yogyakarta sebagai bagian dari NKRI.Patut diingat bahwa wilayah Republik Indonesia saat itu masih sangat terbatas di beberapa bagian Sumatera, Jakarta, Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur di tengah wilayah-wilayah yang masih dikuasai Belanda yang kemudian menjadi negara-negara Pasundan, Madura, Negara Indonesia Timur, dan lain sebagainya.
Saat keberadaan Republik Indonesia semakin di ujung tanduk, sesuai dengan Perjanjian Linggarjati, adalah Sultan Hamengku Buwono IX yang memberi tempat perlindungan kepada para pemimpin republik dan memberi wilayah Yogyakarta sebagai ibu kota perjuangan Republik Indonesia. Tidaklah mengherankan jika pada 15 Agustus 1950 pemerintah RI memberikan keistimewaan kepada Aceh dan Yogyakarta karena dukungan penuh mereka kepada Republik yang masih muda itu.Sultan Hamengku Buwono IX adalah juga seorang republikan sejati, walau ia seorang sultan atau raja. Sumbangsih Kesultanan Ngayogyakarta bukan hanya dukungan politik semata, melainkan juga dana dan wilayah. Tanah yang digunakan oleh Universitas Gadjah Mada adalah tanah Kesultanan Yogyakarta. Yogyakarta juga pernah menjadi ibu kota negara saat Jakarta digempur dan diduduki Belanda.Adalah Sultan Yogya pula yang memberi inspirasi dan dukungan penuh kepada tentara di bawah Letnan Kolonel Soeharto (kemudian menjadi Presiden RI kedua) untuk melakukan Serangan 1 Maret 1948 sebagai simbol bahwa Republik Indonesia masih ada. Seperti kata Bung Karno, kita sebagai bangsa, apalagi pimpinan nasional, “Jangan sekali-sekali melupakan sejarah (Jas Merah)!”Satu hal penting lainnya, keistimewaan Yogyakarta dan Aceh juga dijamin keberadaannya oleh konstitusi kita, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 Pasal 18B. Karena itu, keistimewaan Yogyakarta dengan segala bentuk kesultanannya berada di bawah naungan atau berada di bawah payung hukum konstitusi negara kita. Pertanyaannya, apakah Yogyakarta sebuah monarki? Jika kita membaca buku Sultan Hamengku Buwono IX, Tahta untuk Rakyat, jelas Yogyakarta bukanlah suatu monarki absolut, melainkan suatu monarki kultural sebagai akibat dari bergabungnya Yogyakarta ke dalam NKRI.
Buku Tahta untuk Rakyat juga memperlihatkan betapa Yogyakarta bukan lagi Monarki Politik. Sebagai Ngarso Dalem atau raja, Sultan Hamengku Buwono IX dan diteruskan oleh Sultan Hamengku Buwono X benar-benar mengabdikan dirinya untuk kesejahteraan rakyat, bukan sebaliknya.
mengambil alih kekuasaan kolonial dari tangan Belanda pada 1942, penguasa militer Dai Nippon di Jakarta juga mengangkat Sultan Yogyakarta sebagai penguasa tunggal di Yogyakarta. Walau Sri Sultan Hamengku Buwono IX berpendidikan Belanda, saat Belanda kembali ke Indonesia setelah Jepang menyerah kepada sekutu pada 15 Agustus 1945, beliau menunjukkan sikap nasionalismenya yang tinggi sebagai pendukung kemerdekaan Republik Indonesia.Seperti para pemimpin di Aceh, Sultan Yogyakarta juga mendukung proklamasi kemerdekaan RI dan menyatakan bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tak cuma itu, pada 5 September 1945 Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII membuat Maklumat Politik menegaskan kembali bergabungnya Yogyakarta sebagai bagian dari NKRI.Patut diingat bahwa wilayah Republik Indonesia saat itu masih sangat terbatas di beberapa bagian Sumatera, Jakarta, Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur di tengah wilayah-wilayah yang masih dikuasai Belanda yang kemudian menjadi negara-negara Pasundan, Madura, Negara Indonesia Timur, dan lain sebagainya.
Saat keberadaan Republik Indonesia semakin di ujung tanduk, sesuai dengan Perjanjian Linggarjati, adalah Sultan Hamengku Buwono IX yang memberi tempat perlindungan kepada para pemimpin republik dan memberi wilayah Yogyakarta sebagai ibu kota perjuangan Republik Indonesia. Tidaklah mengherankan jika pada 15 Agustus 1950 pemerintah RI memberikan keistimewaan kepada Aceh dan Yogyakarta karena dukungan penuh mereka kepada Republik yang masih muda itu.Sultan Hamengku Buwono IX adalah juga seorang republikan sejati, walau ia seorang sultan atau raja. Sumbangsih Kesultanan Ngayogyakarta bukan hanya dukungan politik semata, melainkan juga dana dan wilayah. Tanah yang digunakan oleh Universitas Gadjah Mada adalah tanah Kesultanan Yogyakarta. Yogyakarta juga pernah menjadi ibu kota negara saat Jakarta digempur dan diduduki Belanda.Adalah Sultan Yogya pula yang memberi inspirasi dan dukungan penuh kepada tentara di bawah Letnan Kolonel Soeharto (kemudian menjadi Presiden RI kedua) untuk melakukan Serangan 1 Maret 1948 sebagai simbol bahwa Republik Indonesia masih ada. Seperti kata Bung Karno, kita sebagai bangsa, apalagi pimpinan nasional, “Jangan sekali-sekali melupakan sejarah (Jas Merah)!”Satu hal penting lainnya, keistimewaan Yogyakarta dan Aceh juga dijamin keberadaannya oleh konstitusi kita, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 Pasal 18B. Karena itu, keistimewaan Yogyakarta dengan segala bentuk kesultanannya berada di bawah naungan atau berada di bawah payung hukum konstitusi negara kita. Pertanyaannya, apakah Yogyakarta sebuah monarki? Jika kita membaca buku Sultan Hamengku Buwono IX, Tahta untuk Rakyat, jelas Yogyakarta bukanlah suatu monarki absolut, melainkan suatu monarki kultural sebagai akibat dari bergabungnya Yogyakarta ke dalam NKRI.
Buku Tahta untuk Rakyat juga memperlihatkan betapa Yogyakarta bukan lagi Monarki Politik. Sebagai Ngarso Dalem atau raja, Sultan Hamengku Buwono IX dan diteruskan oleh Sultan Hamengku Buwono X benar-benar mengabdikan dirinya untuk kesejahteraan rakyat, bukan sebaliknya.
Tengok misalnya saat Sri Sultan Hamengku
Buwono X menyatakan tidak lagi bersedia menjadi Gubernur DIY, rakyat
Yogyakarta, termasuk mereka yang berasal dari luar Jawa, langsung menentang
keputusan tersebut.Bahkan, pada 28 Maret 2008 ribuan rakyat melakukan Sidang
Rakyat di halaman Gedung DPRD DIY yang intinya tetap mendukung Sultan sebagai
Gubernur DIY. Lalu apakah monarki bertentangan dengan demokrasi? Jawabnya, jika
sistem monarki itu bersifat absolut, jelas itu bertentangan dengan demokrasi.
Dengan demikian, bukan monarkinya yang bertentangan dengan demokrasi, melainkan
absolutismenya.Tengok misalnya bagaimana perubahan monarki di Inggris dari
monarki absolut menjadi monarki konstitusional yang didahului dengan kontrak
sosial antara raja dan rakyat yang kemudian menumbuhkan sistem monarki
konstitusional di mana ada sistem perwakilan dua kamar: House of Lord untuk
kaum bangsawan dan House of Common untuk wakil rakyat kebanyakan. Demokrasi
juga mengandung kelemahan tersendiri jika tirani mayoritas lebih dikedepankan
ketimbang musyawarah untuk mufakat. Tirani mayoritas yang mengedepankan sistem
voting lebih menjurus pada kemenangan kelompok mayoritas dan mengesampingkan kelompok-kelompok
minoritas dalam sistem politik yang ada. Sementara musyawarah mufakat atau
unonimous decision lebih mengedepankan kebersamaan atau kepemilikan bersama
atas keputusan politik yangdiambil. Ini bukan hanya berlaku di Indonesia dan
sesuai dengan sila keempat dari Pancasila, melainkan juga berlaku di
negara-negara barat. Jika tidak, mana mungkin ada terminologi unonimous
decision atau keputusan politik yang didukung oleh semua kekuatan politik yang
ada di parlemen. Demokrasi melalui voting memang sah asalkan semua kekuatan
politik, baik yang menang maupun yang kalah, menghormati hasil dari democratic
bargaining tersebut.
Dalam terminologi Jawa dikenal, bagi yang menang, “Menang tanpa ngasorake” atau kemenangan tanpa harus menafikan kelompok minoritas atau menyoraki yang kalah. Bagi yang kalah, terdapat kewajiban untuk menerima kekalahan politik tanpa membuat keonaran atau “Kalah tanpa banda.” Kelemahan lain dari demokrasi ialah jika yang berlaku adalah democratic auuthoritarianism, yakni menggunakan sistem demokrasi untuk menjalankan sistem otoriter seperti yang dilakukan Hitler setelah terpilih menjadi Kanselir Jerman pada 1933.
Lebih buruk lagi jika democratic authoritarianism juga menciptakan presidential monarch seperti pada era Orde Baru, yaitu karena kemenangan politiknya, seorang presiden menjalankan pemerintahannya tanpa adanya pengawasan dari parlemen atau menjalankan pemerintahan dengan tangan besi sendirian. Sistem presidensial adalah sistem demokrasi, tetapi bila digabung dengan monarch (gabungan dari kata mono dan arch atau satu tangan) bisa menjurus pada sistem pemerintahan yang otoriter.
Persoalan negara harus lebih dikedepankan ketimbang persoalan pribadi. Presiden SBY justru dapat dituduh sebagai pemimpin nasional yang tidak memahami sejarah bangsa dan mengabaikan konstitusi negara jika memaksakan kehendak politiknya mengeliminasi kekuasaan Sultan Yogyakarta yang adalah bagian tak terpisahkan dari keistimewaan DIY.
Jangkauan kekuasaan (range of power), domain kekuasaan (domain of power), dan lingkup kekuasaan (scope of power) pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah di era reformasi ini, terlebih lagi di daerah yang menurut konstitusi negara dijamin keistimewaannya dan juga dijamin kekhususan otonominya sesuai dengan UU yang berlaku memang ada batasnya.
Dalam terminologi Jawa dikenal, bagi yang menang, “Menang tanpa ngasorake” atau kemenangan tanpa harus menafikan kelompok minoritas atau menyoraki yang kalah. Bagi yang kalah, terdapat kewajiban untuk menerima kekalahan politik tanpa membuat keonaran atau “Kalah tanpa banda.” Kelemahan lain dari demokrasi ialah jika yang berlaku adalah democratic auuthoritarianism, yakni menggunakan sistem demokrasi untuk menjalankan sistem otoriter seperti yang dilakukan Hitler setelah terpilih menjadi Kanselir Jerman pada 1933.
Lebih buruk lagi jika democratic authoritarianism juga menciptakan presidential monarch seperti pada era Orde Baru, yaitu karena kemenangan politiknya, seorang presiden menjalankan pemerintahannya tanpa adanya pengawasan dari parlemen atau menjalankan pemerintahan dengan tangan besi sendirian. Sistem presidensial adalah sistem demokrasi, tetapi bila digabung dengan monarch (gabungan dari kata mono dan arch atau satu tangan) bisa menjurus pada sistem pemerintahan yang otoriter.
Persoalan negara harus lebih dikedepankan ketimbang persoalan pribadi. Presiden SBY justru dapat dituduh sebagai pemimpin nasional yang tidak memahami sejarah bangsa dan mengabaikan konstitusi negara jika memaksakan kehendak politiknya mengeliminasi kekuasaan Sultan Yogyakarta yang adalah bagian tak terpisahkan dari keistimewaan DIY.
Jangkauan kekuasaan (range of power), domain kekuasaan (domain of power), dan lingkup kekuasaan (scope of power) pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah di era reformasi ini, terlebih lagi di daerah yang menurut konstitusi negara dijamin keistimewaannya dan juga dijamin kekhususan otonominya sesuai dengan UU yang berlaku memang ada batasnya.
Gejolak konflik di bumi Yogyakarta yang
disulut oleh ranah perpolitikan, namun menyertakan efek di segi social.Seperti
halnya gejolak partisipasi aktif oleh berbagai elemen masyarakat dalam rangka
mempertahankan keistimewaan Yogyakarta yang tak dapat digeser dalam runtutan
bukti sejarah. Tak kunjung juga menimbulkan gesekan antara masyarakat yang PRO
dan KONTRA akan RUU Keistimewaan Yogyakarta tersebut.Beberapa hal yang dapat
dilakukan untuk menyelesaikan konflik social tersebut adalah perlu mengingatkan kepada semua pihak.
Monarki itu ada dua jenis, yakni monarki absolut dan monarki konstitusional.
Monarki absolut itu hanya ada di kerajaan-kerajaan tempo dulu, saat zaman abad
pertengahan. Terutama di Eropa, saat revolusi Prancis dan
lain-lain."Monarki absolut itu mengatakan, raja tidak pernah salah. Dia
mengangkat, memecat, itu kewenangan raja," saat ini sudah tidak ada lagi
monarki absolut. Yang ada adalah monarki konstitusional. Apa itu monarki
konstitusional? "Monarki konstitusional adalah monarki yang
demokratis," Banyak contoh yang menggambarkan 'damainya' monarki
konstitusional. Yakni seperti di Inggris, Belanda, Malaysia, Thailand, dan
Jepang. Monarki konstitusional itu sistem pemerintahannya berjalan sesuai undang-undang.
"Ada pemilahan kekuasaan dan otoritas. Raja hanya sebagai simbol. Tapi
yang menangani pemerintahan itu perdana menteri,”. Sistem pemerintahan yang
sekarang sudah berjalan sejak zaman kemerdekaan 1945 di Yogyakarta adalah
monarki konstitusional. "Apalagi di Yogyakarta. Sultan tidak absolut.
Sultan bekerja dalam aturan demokrasi,". Bila berada dalam lingkungan
kraton atau rumahnya, Sultan merupakan kepala rumah tangga kraton. Dan Sultan
dipersilakan menerapkan aturan monarki di rumah atau kratonnya. "Tapi
kalau sudah di Kantor Gubernur, masyarakat itu salaman seperti biasa. Tidak
menyembah-nyembah,". Sultan juga tidak menerapkan sistem monarki dalam
pemerintahan daerah. Buktinya, semua pejabat daerah dari yang rendah sampai
petinggi tidak dijabat keluarga kerajaan. Semua direkrut melalui mekanisme dan
aturan yang demokratis. Perekrutar PNS melalui mekanismenormal. "Bahkan,
PNS di DIY itu tidak hanya dari Yogyakarta, banyak juga dari luar Yogya. Ada
yang dari Flores, Bangka, dan lain-lain,"
Bab III
Pembahasan
Menurut pendapat kami, pandangan di atas
menggambarkan bahwa pimpinan Bangsa Indonesia saat ini harus lebih jeli melihat
serta mengemukakan undang-undang yang erat kaitannya dengan system Monarki Vs
Demokrasi. Karena masyarakat sebenarnya muak dengan demokrasi yang diterapkan
di Indonesia saat ini. Pilkada banyak memunculkan koruptor baru. Dengan
perilaku politikus yang tidak simpati. Pemilukada banyak diwarnai money
politic, pemalsuan ijazah, dan lain-lain. Faktor kharismatik Sultan Hamengkubuwono
1 sampai dengan 10 belum ada tandingannya sampai saat ini. Itulah yang
mendasari masyarakat Yogyakarta khususnya dan Indonesia pada umumnya menentang
habis-habisan RUU yang digagas Pesiden cs. Sebelum Indonesia terbentuk menjadi
negara justru Kesultanan Yogyakarta telah mempunyai norma dan pranata yang
sempurna. Tidak heran kalau masyarakat Jawa khususnya Yogyakarta dari dulu
terkenal budi pekerti yang baik. Kok seanaknya Presiden cs mengobrak abrik
tatanan yang sudah teratur.
Dapat dikerucutkan kearah solusi mengenai
gejolak konflik di Yogyakarta bahwa Presiden Cs sebaiknya harus lebih teliti
melihat dinamika multikultur di Indonesia. Segera benahi RUUK Yogyakarta agar
konflik social antar masyrakat yang Pro dan Kontra cepat menuai jawaban yang jelas.
Karena, sebelum Tubuh Bumi Pertiwi semakin tersakiti oleh tindakan yang
bermuatan politisir oleh para Birokrat yang membuat kondisi sosial masyarakat
Indonesia semakin terpecah belah. Maka dari itu kepentingan politik yang
tersistem oleh pemegang kekuasaan saat ini haruslah segera di hancurkan, karena
kalau tidak segera dilakukan maka rakyatlah yang akan semakin menemui konflik
baik antar individu, antar kelompok atau bahkan konflik kelompok dengan state
(pemerintah) dan kesemuanya itu akan semakin memperburuk keadaan pranata sosial
masyarakat Indonesia.