29.3.12
PERKEMBANGAN PENGARUH BARAT DAN PERUBAHAN EKONOMI, DEMOGRAFI DAN KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT DI INDONESIA PADA MASA KOLONIAL
LATAR
BELAKANG KEDATANGAN ORANG – ORANG EROPA
KE
DUNIA TIMUR
1.
Renaissance
Renaissance
berasal dari bahasa Prancis, Renascari yaitu kelahiran kembali kebudayaan
klasik dari jaman Romawi dan Yunani kuno yang meliputi kesusasteraan, seni dan
ilmu pengetahuan. Gerakan ini dipelopori oleh Dante Aligheiri, Petrarca
dan Boccacio.
Timbulnya
gerakan ini disebabkan oleh :
Terjadinya
pertumbuhan perdagangan di kota Venesia, Florence dan Geno (Italia)
Adanya
puing-puing bangunan lama yang megah dan mengagumkan di kota Roma dan kota-kota
lainnya.
Perkembangan
ekonomi Italia lebih maju dari Negara Eropa lainnya
Bangsawan
Italia tidak tinggal di pedalaman tapi di kota-kota
Penjelajahan
samudera dan Penemuan daerah baru
Awal
abad ke 16 bangsa Portugis, Spanyol, Inggris dan Negara Eropa lainnya
mengadakan penjelajahan samudera karena didorong oleh factor-faktor :
Tahun
1453 kota Konstantinopel jatuh ke tangan Turki yang mengakibatkan harga
rempah-rempah menjadi sangat mahal
Berkembangnya
Ilmu pengetahuan tentang bumi dan ilmu astronomi dan penemuan kompas.
Timbulnya
keinginan untuk mencari keuntungan yang besar dan upaya untuk mencari daerah
baru
Ingin
menyebarkan agama Kristen ke seluruh dunia
Adanya
Penemuan baru di bidang ilmu Pengetahuan
a.
Johan Guttenberg menemukan mesin cetak
b.
Nicolaus Copernicus menemukan matahari sebagai pusat tata surya
c.
Galileo galilei menemukan teleskop
d.
Marthin Luther pencetus agama kristen Protestan
Dominasi
gereja katolik terhadap segala aspek kehidupan
PAHAM RASIONALISME, REVOLUSI INDUSTRI, DAN KAPITALISME SERTA PERKEMBANGAN
KOLONIALISME DAN IMPERIALISME BARAT DI INDONESIA
1.
Paham Rasionalisme
Rasionalisme
adalah paham yang menganggap sesuatu itu dianggap benar jika sesuai dengan akal
pikiran. Tempat kelahiran rasionalisme adalah Prancis (Renne Descartes
1596-1650). Ia adalah seorang filosof,ilmuwan dan matematikus Prancis yang
tersohor. Sebenarnya, rasionalisme merupakan kelanjutan dari perlawanan
terhadap ajaran-ajaran yang bersifat dogmatis dan taradisi yang mulai tampak
pada abad ke-15 dan abad ke-16.
2.
Merkantilisme
Istilah
Merkantilisme diambil dari kata ”Mercari” yang artinya berjual beli.
Merkantilisme adalah sebuah sistem ekonomi di mana negara memiliki wewenang
yang besar, atau disebut juga sebagai sistem ekonomi proteksi. Kemakmuran
diperoleh dari perdagangan luar negeri.
Tujuan
dari merkantilisme adalah untuk melindungi perkembangan industri perdagangan
dan melindungi kekayaan negara yang ada di masing-masing negara. Negara atau
pemerintah memperoleh kekayaan sebanyak-banyaknya untuk membiayai negara;
negara atau pemerintah merupakan satu-satunya penguasa ekonomi. Cara yang
digunakan dalam rangka memperkaya Negara adalah dengan penumpukan kekayaan yang
berupa logam mulia yaitu emas dan perak. Negara yang banyak memiliki timbunan
logam mulia dalam jumlah yang besar merupakan negeri yang kaya, dan mempunyai
kemampuan untuk mengembangkan kekuatannya sehingga dapat memperkuat armada
perangnya.
3.
Revolusi Industri
Revolusi
Industri adalah perubahan radikal dalam cara pembuatan atau
memproduksi
barang-barang dengan menggunakan mesin-mesin, baik untuk tenaga penggerak
maupun untuk tenaga pemproses. Dengan digunakannya mesin-mesinmenjadikan tenaga
manusia tidak terpakai lagi, sehingga terjadi peningkatan kualitas
dan
kuantitas produksi barang, termasuk perubahan dalam cara kerja dan
pemasarannya.
4.
Kapitalisme
Kapitalisme
adalah system dan paham ekonomi yang modalnya ( penanaman
modal dan kegiatan industrinya )
bersumber pada modal pribadi atau modal
perusahaan swasta guna bersaing bebas di pasaran internasional, nasional
maupun lokal. Kapitalisme merupakan respon
terhadap merkantilisme yang
menempatkan Negara sebagai pemilik
kekayaan Negara. Kapitalisme menempatkan
individu sebagai pemilik modal yang menguasai
kekayaan alam.
MASUKNYA KOLONIALISME DAN IMPERIALISME ASING KE WILAYAH
INDONESIA
: PORTUGIS, SPANYOL, VOC-BELANDA DAN INGGRIS
1.
MASA KEKUASAAN VOC
Usaha
bangsa Barat untuk mendapatkan benua baru dipelopori oleh bangsa Portugis dan
Spanyol yang ingin mendapatkan rempah-rempah. Bartholomeu Dias (1492) dan Vasco
daGama (1498) berkebangsaan Portugis berlayar menyusuri pantai barat Benua
Afrika akhirnyatiba di Kalkuta, India. Kemudian mereka membangun kantor dagang
di Kalkuta dan berdagang di Asia Tenggara. Pada tahun 1512, Portugis masuk ke
Maluku sedangkan Spanyol masuk ke Tidore (1521) untuk mencari rempah-rempah.
Pada
tahun 1596, pedagang Belanda dengan empat buah kapal di bawah Cornelis de
Houtman berlabuh di Banten. Mereka mencari rempah-rempah di sana dan daerah
sekitarnya untuk diperdagangkan di Eropa. Namun, karena kekerasan dan kurang
menghormati rakyat maka diusir dari Banten. Kemudian pada tahun 1598, pedagang
Belanda datang kembali ke Indonesia di bawah Van Verre dengan delapan kapal dipimpin
Van Neck, Jacob van Heemkerck datang di Banten dan diterima Sultan Banten
Abdulmufakir
dengan baik. Sejak saat itulah ada hubungan perdagangan dengan pihak
Belanda
sehingga berkembang pesat perdagangan Belanda di Indonesia.
Namun,
tujuan dagang tersebut kemudian berubah. Belanda ingin berkuasa sebagai
penjajah yang kejam dan sewenang-wenang, melakukan monopoli perdagangan,
imperialisme ekonomi, dan perluasan kekuasaan.
Setelah
bangsa Belanda berhasil menanamkan kekuasaan perdagangan dan ekonomi di
Indonesia maka pada tanggal 20 Maret 1602 Belanda membentuk kongsi dagang VOC
(Vereenigde Oost-Indische Compagnie) yang dianjurkan oleh Johan van Olden
Barnevelt yang mendapat izin dan hak istimewa dari Raja Belanda. Alasan
pendirian VOC adalah adanya persaingan di antara pedagang Belandasendiri,
adanya ancaman dari komisi dagang lain, seperti (EIC) Inggris, dan dapat
memonopoli perdagangan rempah-rempah di Indonesia. Untuk mendapatkan
keleluasaan usaha di Indonesia, VOC memiliki hak oktroi, yaitu hak istimewa.
Di
samping itu, VOC juga melakukan pelayaran Hongi,
yakni misi pelayaran Belanda yang ditugasi mengawasi, menangkap, dan mengambil
tindakan terhadap para pedagang dan penduduk pribumi yang dianggapnya melanggar
ketentuan perdagangan Belanda. Usaha VOC semakin berkembang pesat (1623) dan
berhasil menguasai rempah-
rempah
di Ambon dalam peristiwa Ambon Massacre. Selanjutnya tahun 1641, VOC berhasil
merebut Malaka dari tangan Portugis. VOC selalu menggunakan Batigslot
Politiek (politik mencari untung, 1602 – 1799) dengan memegang monopoli Belanda
di Indonesia. Selain itu, VOC menjalankan politik devide
et impera, yakni sistem pemecah belah di antara rakyat Indonesia.
Perjalanan
kongsi dagang VOC lama kelamaan mengalami kemunduran, bahkan
VOC
runtuh pada tanggal 31 Desember 1799. Kemunduran VOC disebabkan hal-hal
berikut.
a.
Perang-perang yang dilakukan membutuhkan biaya yang besar padahal hasil dari
bumi
Indonesia
telah terkuras habis dan kekayaan Indonesia sudah telanjur terkirim ke
Negeri
Belanda. VOC tidak kuat lagi membiayai perang-perang tersebut.
b.Kekayaan
menyebabkan para pegawai VOC melupakan tugas, kewajiban, dan tanggung
jawab
mereka terhadap pemerintah dan masyarakat.
c.Terjadinya
jual beli jabatan.
d.Tumbuhnya
tuan-tuan tanah partikelir.
e.Kekurangan
biaya tersebut tidak dapat ditutup dengan hasil penjualan tanah saja, VOC
harus
juga mencari pinjaman. Akibatnya, utang VOC semakin besar.
f.Pada
akhir abad ke-18, VOC tidak mampu lagi memerangi pedagang-pedagang Eropa
lainnya
(Inggris, Prancis, Jerman) yang dengan leluasa berdagang di Nusantara
sehingga
monopoli VOC hancur.
Keberadaan
VOC sudah tidak dapat dipertahankan lagi sehingga harta milik dan
utang-utangnya
diambil alih oleh pemerintah negeri Belanda. Pemerintah kemudian membentuk
Komisi Nederburg untuk mengurusinya, termasuk mengurusi wilayah VOC di
Indonesia (1800 – 1907).
2.
MASA KEKUASAAN BELANDA (PRANCIS)
Tahun
1807 – 1811, Indonesia dikuasai oleh Republik Bataaf bentukan Napoleon
Bonaparte, penguasa di Prancis (Belanda menjadi jajahan Prancis). Napoleon
Bonaparte mengangkat Louis Napoleon menjadi wali negeri Belanda dan negeri
Belanda diganti namanya menjadi Konikrijk Holland. Untuk mengurusi Indonesia,
Napoleon mengangkat Herman Willem Daendels menjadi gubernur jenderal di Indonesia
(1808 – 1811). Tugas utama Daendels adalah mempertahankan Jawa dari serangan
Inggris sehingga pusat perhatian Daendels ditujukan kepada pertahanan dan
keamanan.
Untuk
memperoleh dana, Daendels menjual tanah-tanah kepada orang-orang swasta.
Akibatnya, tanah-tanah partikelir mulai bermunculan di sekitar Batavia, Bogor,
Indramayu, Pamanukan, Besuki, dan sebagainya. Bahkan, rumahnya sendiri di Bogor
dijual kepada pemerintah, tetapi rumah itu tetap ditempatinya sebagai rumah
tinggalnya. Tindakan dan kekejaman Daendels tersebut menyebabkan raja-raja
Banten dan Mataram memusuhinya.
Untuk
menutup utang-utang Belanda dan biaya-biaya pembaharuan tersebut, Daendels
kembali menjual tanah negara beserta isinya kepada swasta, sehingga timbullah
system tuan tanah di Jawa yang bertindak sebagai raja daerah, misalnya di
sekitar Batavia dan Probolinggo. Kekejaman Daendels tersebut terdengar sampai
ke Prancis. Akhirnya, dia dipanggil pulang karena dianggap memerintah secara
autokrasi dan Indonesia diperintah oleh Jansens.
3.
MASA KEKUASAAN INGGRIS
Keberhasilan
Inggris mengalahkan Prancis di Eropa menyebabkan kekuasaan Belanda atas
Indonesia bergeser ke tangan Inggris. Untuk itulah ditandatangani Kapitulasi
Tuntang (1811) yang isinya Belanda menyerahkan Indonesia ke tangan Inggris dari
tangan Jansens kepada Thomas Stamford Raffles, seorang Letnan Gubernur Jenderal
Inggris untuk Indonesia. Oleh karena itu, beralihlah Indonesia dari tangan
Belanda ke tangan Inggris.
Adapun
langkah-langkah yang diambil Raffles adalah
a.
membagi Pulau Jawa menjadi 16 karesidenan,
b.
para bupati dijadikan pegawai negeri,
c.
melaksanakan perdagangan bebas,
d.
melaksanakan land rente (pajak sewa tanah) dan Raffles menjual tanah kepada
swasta,
e.
menghapuskan perbudakan, dan
f.
kekuasaan para raja dikurangi. Di Yogyakarta, Pangeran Notokusumo diangkat
sebagai Paku Alam (1813). Akibatnya, Mataram Yogyakarta pecah menjadi dua,
yakni Kasultanan Yogyakarta di bawah HB III dan Paku Alaman di bawah Paku Alam
I.
Pada
tanggal 13 Agustus 1814, di Eropa ditandatangani Perjanjian London oleh
Inggris
dan Belanda yang isinya Belanda memperoleh kembali sebagian besar daerah
koloninya,
termasuk Indonesia. Oleh karena itu pada tahun 1816, Raffles meninggalkan
Indonesia
dan Belanda kembali berkuasa di Indonesia.
4.
MASA KEKUASAAN PEMERINTAH BELANDA
Pada
tahun 1830, pemerintah Belanda mengangkat gubernur jenderal yang baru untuk
Indonesia, yaitu Van den Bosch, yang diserahi tugas untuk meningkatkan produksi
tanaman ekspor, seperti tebu, teh, tembakau, merica, kopi, kapas, dan kayu
manis. Dalam
hal
ini, Van den Bosch mengusulkan adanya sistem tanam paksa. Adapun hal-hal yang mendorong Van den
Bosch melaksanakan tanam paksa, antara lain, Belanda membutuhkan banyak dana
untuk membiayai peperangan, baik di negeri Belanda sendiri maupun di Indonesia.
Akibatnya, kas negara Belanda kosong. Sementara itu, di Eropa terjadi perang
Belanda melawan Belgia (1830 – 1839) yang juga menelan banyak biaya.
Tujuan
diadakannya tanam paksa adalah untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya,
guna menutupi kekosongan kas negara dan untuk membayar utang utang negara.
Pelaksanaan
tanam paksa diselewengkan oleh Belanda dan para petugasnya yang berakibat
membawa kesengsaraan rakyat Bentuk penyelewengan tersebut misalnya, kerja tanpa
dibayar untuk kepentingan Belanda (kerja rodi) kekejaman para mandor terhadap
para penduduk, dan eksploitasi kekayaan Indonesia yang dilakukan Belanda.
Melihat
penderitaan rakyat Indonesia, kaum humanis Belanda menuntut agar tanam paksa
dihapuskan. Tanam paksa mengharuskan rakyat bekerja berat selama musim tanam.
Penderitaan rakyat bertambah berat dengan adanya kerja rodi membangun jalan
raya, jembatan, dan waduk. Selain itu, rakyat masih dibebani pajak yang
berat,sehingga sebagian besar penghasilan rakyat habis untuk membayar pajak.
Sementara itu di pihak Belanda, tanam paksa membawa keuntungan yang besar.
Praktik
tanam paksa mampu menutup kas negara Belanda yang kosong sekaligus
membayar
utang-utang akibat banyak perang. Akhirnya, tanam paksa dihapuskan, diawali
dengan dikeluarkannya undang-undang (Regrering Reglement) pada tahun 1854
tentang
penghapusan perbudakan. Tanam paksa benar-benar dihapuskan pada tahun 1917.
Sebagai bukti, kewajiban tanam kopi di Priangan, Manado, Tapanuli, dan Sumatra
Barat dihapuskan.
Setelah
tanam paksa dihapuskan, pemerintah Belanda melaksanakan politik kolonial
liberal di Indonesia dengan memberikan kebebasan pada pengusaha swasta untuk
menanamkan modal di Indonesia. Namun, pelaksanaannya tetap menyengsarakan
rakyat karena kebijakan-kebijakan yang dilaksanakan semata-mata untuk
kepentingan kolonial Belanda. Belanda tetap melaksanakan cara-cara menguasai
bangsa Indonesia dengan perjanjian, perang, dan pemecah belah.
Pelaksanaan
politik kolonial liberal ternyata banyak mendatangkan penderitaan bagi rakyat
terutama buruh sebab upah yang mereka terima tidak seperti yang tertera dalam
kontrak. Akibatnya, banyak buruh yang melarikan diri, terutama dari Deli,
Sumatra Utara. Dari kenyataan di atas jelas Belanda tetap masih melaksanakan
usaha menindas bangsa Indonesia.
PERLAWANAN RAKYAT DI BERBAGAI DAERAH DALAM MENENTANG
KOLONIALISME
1.Perlawanan
Rakyat Maluku di Bawah Thomas Matullesi (1817)
Sejak
abad ke-17 perlawanan rakyat Maluku terhadap Kompeni sudah terjadi, namun
perlawanan yang dahsyat baru muncul pada permulaan abad ke-19, di bawah
pimpinan Thomas Matulessi (lebih dikenal dengan nama Pattimura).
Latar
belakang timbulnya perlawanan Pattimura, di samping adanya tekanan-tekanan yang
berat di bidang ekonomi sejak kekuasaan VOC juga dikarenakan hal sebagai
berikut.
a.
, yakni adanya tindakan-tindakan pemerintah Belanda yang memperberat kehidupan
rakyat, seperti system penyerahan secara paksa, kewajiban kerja blandong,
penyerahan atap dan gaba-gaba, penyerahan ikan asin, dendeng dan kopi. Selain
itu, beredarnya uang kertas yang menyebabkan rakyat Maluku tidak dapat
menggunakannya untuk keperluan sehari-hari karena belum terbiasa.
b.
, yaitu adanya pemecatan guru-guru sekolah akibat pengurangan sekolah dan
gereja, serta pengiriman orang-orang Maluku untuk dinas militer ke Batavia.
Hal-hal tersebut di atas merupakan tindakan penindasan pemerintah Belanda
terhadap rakyat Maluku. Oleh karena itu, rakyat Maluku bangkit dan
berjuang melawan imperialisme Belanda. Aksi perlawanan meletus pada tanggal 15
Mei 1817 dengan menyerang Benteng Duurstede di Saparua. Setelah terjadi
pertempuran sengit, akhirnya Benteng Duurstede jatuh ke tangan rakyat Maluku di
bawah pimpinan Pattimura. Banyak korban di pihak Belanda termasuk Residen
Belanda, Van den Berg ikut terbunuh dalam pertempuran.
Kemenangan
atas pemerintah kolonial Belanda memperbesar semangat perlawanan rakyat
sehingga perlawanan meluas ke Ambon, Seram dan pulau-pulau lain. Di Hitu
perlawanan rakyat muncul pada permulaan bulan Juni 1817 di bawah pimpinan
Ulupaha. Rakyat Haruku di bawah pimpinan Kapten Lucas Selano, Aron dan Patti
Saba. Situasi pertempuran berbalik setelah datangnya bala bantuan dari Batavia
di bawah pimpinan Buyskes. Pasukan Belanda terus mengadakan penggempuran dan
berhasil menguasai kembali daerah-daerah Maluku. Perlawanan semakin mereda
setelah banyak para pemimpin tertawan, seperti Thomas Matulessi (Pattimura),
Anthonie Rhebok, Thomas Pattiweal, Lucas Latumahina, dan Johanes Matulessi.
Dalam perlawanan ini juga muncul tokoh wanita yakni Christina Martha Tiahahu.
Sebagai pahlawan rakyat yang tertindas oleh penjajah. Tepat pada tanggal 16
Desember 1817, Thomas Matulessi dan kawan-kawan seperjuangannya menjalani
hukuman mati di tiang gantungan.
2.Perlawanan
Kaum Paderi (1821–1838 )
Perang
Paderi melawan Belanda berlangsung 1821–1838, tetapi gerakan Paderi sendiri
sudah ada sejak awal abad ke-19. Di lihat dari sasarannya, gerakan Paderi dapat
dibagi menjadi dua periode.
a.
Periode 1803–1821 adalah masa perang Paderi melawan Adat dengan corak
keagamaan.
b.
Periode 1821–1838 adalah masa perang Paderi melawan Belanda dengan corak keaga-
maan
dan patriotisme.
Sejak
tahun 1821 saat kembalinya tiga orang haji dari Mekkah, yaitu Haji Miskin, Haji
Sumanik dan Haji Piabang, gerakan Paderi melawan kaum Adat dimulai. Kaum Paderi
berkeinginan memperbaiki masyarakat Minangkabau dengan mengembalikan
kehidupannya yang sesuai dengan ajaran Islam yang sebenarnya. Padahal kaum Adat
justru ingin melestarikan adat istiadat warisan leluhur mereka.
Adat
yang selama itu dianut dan yang menjadi sasaran gerakan Paderi adalah
kebiasaan-kebiasaan buruk, seperti menyabung ayam, berjudi, madat, dan
minum-minuman keras. Terjadilan perbenturan antara kaum Adat dengan kaum
Paderi. Kaum Adat yang merasa terdesak, kemudian minta bantuan kepada pihak
ketiga, yang semula Inggris kemudian digantikan oleh Belanda (berdasarkan
Konvensi London).
Perang
Paderi melawan Belanda meletus ketika Belanda mengerahkan pasukannya menduduki
Semawang pada tanggal 18 Februari 1821. Masa Perang Paderi melawan Belanda
dapat dibagi menjadi tiga periode.
a.
Periode 1821–1825, ditandai dengan meletusnya perlawanan di seluruh daerah
Minangkabau. Di bawah pimpinan Tuanku Pasaman, kaum Paderi menggempur pos-pos
Belanda yang ada di Semawang, Sulit Air, Sipinan, dan tempat-tempat lain.
Pertempuran menimbulkan banyak korban di kedua belah pihak. Tuanku Pasaman
kemudian mengundurkan diri ke daerah Lintau. Sebaliknya, Belanda yang telah
berhasil menguasai Lembah Tanah Datar, kemudian mendirikan benteng pertahanan
di Batusangkar (Fort Van den Capellen).
b.
Periode 1825–1830, ditandai dengan meredanya pertempuran. Kaum Paderi perlu
menyusun kekuatan, sedangkan pihak Belanda baru memusatkan perhatiannya
menghadapi perlawanan Diponegoro di Jawa.
c.
Periode 1830–1838, ditandai dengan perlawanan di kedua belah yang makin
menghebat. Pemimpin di pihak Belanda, antara lain Letkol A.F. Raaff, Kolonel de
Stuer, Mac. Gillavry dan Elout, sedangkan di pihak Paderi ialah Tuanku Imam
Bonjol, Tuanku Nan Renceh, Tuanku nan Gapuk, Tuanku Hitam, Tuanku Nan Cerdik
dan Tuanku Tambusi.
Pada
tahun 1833, Belanda mengeluarkan Pelakat Panjang yang isinya,
antara lain sebagai berikut.
a.Penduduk
dibebaskan dari pembayaran pajak yang berat dan kerja rodi.
b.Belanda
akan bertindak sebagai penengah jika terjadi perselisihan antar penduduk.
c.Penduduk
boleh mengatur pemerintahan sendiri.
d.Hubungan
dagang hanya diperbolehkan dengan Belanda.
Belanda
menjalankan siasat pengepungan mulai masuk tahun 1837 terhadap Benteng
Bonjol. Akhirnya, Benteng Bonjol berhasil dilumpuhkan oleh Belanda.
Selanjutnya, Belanda mengajak berunding kaum Paderi yang berujung pada
penangkapan Tuanku Imam Bonjol (25 Oktober 1837). Setelah ditahan, Tuanku Imam
Bonjol dibuang ke Cianjur, dipindahkan ke Ambon (1839), dan tahun 1841
dipindahkan ke Manado hingga wafat tanggal 6 November 1864.Perlawanan kaum
Paderi kemudian dilanjutkan oleh Tuanku Tambusi. Setelah Imam Bonjol tertangkap,
akhirnya seluruh Sumatra Barat jatuh ke tangan Belanda. Itu berarti seluruh
perlawanan dari kaum Paderi berhasil dipatahkan oleh Belanda.
3.Perlawanan
Pangeran Diponegoro (1825–1830)
Pengaruh
Belanda di Surakarta dan Yogyakarta semakin bertambah kuat pada permulaan abad
ke-19. Khususnya di Yogyakarta, campur tangan Belanda telah menimbulkan
kekecewaan di kalangan kerabat keraton yang kemudian menimbulkan perlawanan di
bawah pimpinan Pangeran Diponegoro. Sebab-sebab perlawanan Diponegoro, antara lain
sebagai berikut.
a.Adanya
kekecewaan dan kebencian kerabat istana terhadap tindakan Belanda yang makin
intensif mencampuri urusan keraton melalui Patih Danurejo (kaki tangan
Belanda).
b.Adanya
kebencian rakyat pada umumnya dan para petani khususnya akibat tekanan pajak
yang sangat memberatkan.
c.Adanya
kekecewaan di kalangan para bangsawan, karena hak-haknya banyak yang dikurangi.
d.Sebagai
sebab khususnya ialah adanya pembuatan jalan oleh Belanda melewati makam
leluhur Pangeran Diponegoro di Tegalrejo.
Pertempuran
perrtama meletus pada tanggal 20 Juli 1825 di Tegalrejo. Setelah
pertempuran di Tegalrejo, Pangeran Diponegoro dan pasukannya menyingkir ke
Dekso. Di daerah Plered, pasukan Diponegoro dipimpin oleh Kertapengalasan yang
memiliki kemampuan yang cukup kuat. Kabar mengenai pecahnya perang melawan
Belanda segera meluas ke berbagai daerah. Dengan dikumandangkannya perang
sabil, di Surakarta oleh Kiai Mojo, di Kedu oleh Kiai Hasan Besari, dan di
daerah-daerah lain maka pada pertempuran-pertempuran tahun 1825–1826 pasukan
Belanda banyak terpukul dan terdesak.
Melihat
kenyatan ini, kemudian Belanda menggunakan usaha dan tipu daya untuk mematahkan
perlawanan, antara lain sebagai berikut.
a.Siasat
benteng stelsel, yang dilakukan oleh Jenderal de Kock mulai tahun
1827.
b.Siasat
bujukan agar perlawanan menjadi reda.
c.Siasat
pemberian hadiah sebesar 20.000,- ringgit kepada siapa saja yang dapat menang-
kap
Pangeran Diponegoro.
d.Siasat
tipu muslihat, yaitu ajakan berunding dengan Pangeran Diponegoro dan akhirnya
ditangkap.
Dengan
berbagai tipu daya, akhirnya satu per satu pemimpin perlawanan tertangkap dan
menyerah, antara lain Pangeran Suryamataram dan Ario Prangwadono (tertangkap 19
Januari 1827), Pangeran Serang, dan Notoprodjo (menyerah 21 Juni 1827, Pangeran
Mangkubumi (menyerah 27 September 1829), dan Alibasah Sentot Prawirodirdjo
(menyerah tanggal 24 Oktober 1829). Kesemuanya itu merupakan pukulan yang berat
bagi Pangeran Diponegoro.
Melihat
situasi yang demikian, pihak Belanda ingin menyelesaikan perang secara cepat.
Jenderal de Kock melakukan tipu muslihat dengan mengajak berunding Pangeran
Diponegoro. De Kock berjanji apabila perundingan gagal maka Diponegoro
diperbolehkan kembali ke pertahanan. Atas dasar janji tersebut,
Diponegoro mau berunding di rumah Residen Kedu, Magelang pada tanggal 28
Maret 1830. Namun, De Kock ingkar janji sehingga Pangeran Diponegoro ditangkap
ketika perundingan mengalami kegagalan. Pangeran Diponegoro kemudian di bawa ke
Batavia, dipindahkan ke Menado, dan pada tahun 1834 dipindahkan ke Makassar
hingga wafatnya pada tanggal 8 Januari 1855.
4. Perlawanan
di Kalimantan Selatan (1859–1905)
Di
Kalimantan Selatan, Belanda telah lama melakukan campur tangan dalam urusan
Istana Banjar. Puncak kebencian terhadap Belanda dan akhirnya meletus menjadi
perlawanan, ketika terjadi kericuan pergantian takhta Kerajaan Banjar setelah
wafatnya Sultan Adam tahun 1857. Dalam hal ini Belanda mengangkat Pangeran
Tamjidillah sebagai Sultan Banjar.
Rakyat
tidak mau menerima sebab Pangeran Hidayat yang lebih berhak dan lebih disenangi
rakyat. Pertempuran rakyat Banjar melawan Belanda berkobar pada tahun 1859 di
bawah pimpinan Pangeran Antasari. Dalam pertempuran ini Pangeran Hidayat
berada di pihak rakyat. Tokoh-tokoh lain dalam pertempuran ini, antara lain
Kiai Demang Leman, Haji Nasrun, Haji Buyasin, Tumenggung Suropati, dan Kiai
Langlang. Pasukan Antasari menyerbu pos-pos Belanda yang ada di Martapura dan
Pangron pada akhir April 1859. Di bawah pimpinan Kiai Demang Leman dan Haji
Buyasin pada bulan Agustus 1859 pasukan Banjar berhasil merebut benteng Belanda
di Tabanio. Ketika pertempuran sedang berlangsung, Belanda memecat Pangeran
Hidayat sebagai mangkubumi karena menolak untuk menghentikan perlawanan.
Pada
tanggal 11 Juni 1860 jabatan sultan kosong (karena Sultan Tamjidillah
diturunkan dari takhtanya oleh pihak Belanda, Andresen) dan jabatan mang-kubumi
dihapuskan. Dengan demikian, Kerajaan Banjar dihapuskan dan dimasukkan dalam
wilayah kekuasaan Belanda. Pertempuran terus meluas ke berbagai daerah, seperti
Tanah Laut, Barito, Hulu Sungai Kapuas, dan Kahayan. Dalam menghadapi
serangan-serangan ini, Belanda mengalami kesulitan, namun setelah mendapatkan
bantuan dari luar akhirnya Belanda berhasil mematahkan perlawanan rakyat. Pada
tanggal 3 Februari 1862, Pangeran Hidayat tertangkap dan dibuang ke Jawa.
Pangeran Antasari yang pada tanggal 14 Maret 1862 diangkat oleh rakyat sebagai
pemimpin tertinggi agama Islam dengan gelar Panembahan Amiruddin Khalifahtul
Mukminin gugur dalam pertempuran di Hulu Teweh pada tanggal 11 Oktober 1862.
Sepeninggal Pangeran Antasari, perjuangan rakyat Banjar dilanjutkan oleh
teman-teman seperjuangan. Perlawanan rakyat benar-benar dapat dikatakan padam
setelah gugurnya Gusti Matseman tahun 1905.
5. Perlawanan
di Bali (1846–1905)
Di
Bali timbulnya perlawanan rakyat melawan Belanda, setelah Belanda berulang kali
memaksakan kehendaknya untuk menghapuskan hak tawan karang. Hak tawan karang
yakni hak bagi kerajaan-kerajaan Bali untuk merampas perahu yang terdampar di
pantai wilayah kekuasaan kerajaan yang bersangkutan. Telah berulang kali kapal
Belanda hendak dirampas, namun Belanda memprotes dan mengadakan perjanjian
sehingga terbebas. Raja-raja Bali yang pernah diajak berunding ialah Raja
Klungklung dan Raja Badung (1841); Raja Buleleng dan Raja Karangasem
(1843). Akan tetapi, kesemuanya tidak diindahkan sehingga Belanda memutuskan
untuk menggunakan kekerasan dalam usaha menundukkan Bali.
Dalam
menghadapi perlawanan rakyat Bali, pihak Belanda terpaksa mengerahkan ekspedisi
militer secara besar-besaran sebanyak tiga kali. Ekspedisi pertama (1846)
dengan kekuatan 1.700 orang pasukan dan gagal dalam usaha menundukkan rakyat
Bali. Ekspedisi kedua (1848) dengan kekuatan yang lebih besar dari yang pertama
dan disambut dengan perlawanan oleh I Gusti Ktut Jelentik, yang telah
mempersiapkan pasukannya di Benteng Jagaraga sehingga dikenal dengan
Perang Jagaraga I. Ekspedisi Belanda ini pun juga berhasil digagalkan.
Kekalahan
ekspedisi Belanda baik yang pertama maupun yang kedua, menyebabkan pemerintah
Hindia Belanda mengirimkan ekspedisi ketiga (1849) dengan kekuatan yang lebih
besar lagi yakni 4.177 orang pasukan, kemudian menimbulkan Perang Jagaraga II.
Perang berlangsung selama dua hari dua malam (tanggal 15 dan 16 April 1849) dan
menunjukkan semangat perjuangan rakyat Bali yang heroik dalam mengusir
penjajahan Belanda. Dalam pertempuran ini, pihak Belanda mengerahkan pasukan
darat dan laut yang terbagi dalam tiga kolone. Kolone 1 di bawah
pimpinan Van Swieten; kolone 2 dipercayakan kepada La Bron de Vexela, dan
kolone 3 dipimpin oleh Poland. Setelah terjadi pertempuran sengit, akhirnya
Benteng Jagaraga jatuh ke tangan Belanda. Prajurit Bali dan para pemimpin
mereka termasuk I Gusti Jelantik, berhasil meloloskan diri.
Perlawanan
rakyat Bali tidaklah padam. Pada tahun 1858, I Nyoman Gempol mengangkat senjata
melawan Belanda, namun berhasil dipukul mundur. Selanjutnya, tahun 1868 terjadi
lagi perlawanan di bawah pimpinan Ida Made Rai, ini pun juga mengalami
kegagalan. Perlawanan masih terus berlanjut dan baru pada awal abad ke-20
(1905), seluruh Bali berada di bawah kekuasaan Belanda.
6.Perlawanan
di Aceh (1873–1904)
a.Latar
Belakang Perlawanan
Aceh
memiliki kedudukan yang sangat strategis sebagai pusat perdagangan. Aceh banyak
menghasilkan lada dan tambang serta hasil hutan. Oleh karena itu, Belanda
berambisi untuk mendudukinya. Sebaliknya, orang-orang Aceh tetap ingin
mempertahankan kedaulatannya. Sampai dengan tahun 1871, Aceh masih mempunyai
kebebasan sebagai kerajaan yang merdeka. Situasi ini mulai berubah dengan
adanya Traktrat Sumatra (yang ditandatangani Inggris dengan Belanda pada
tanggal 2 November 1871). Isi dari Traktrat Sumatra 1871 itu adalah pemberian
kebebasan bagi Belanda untuk memperluas daerah kekuasaan di Sumatra, termasuk
Aceh. Dengan demikian, Traktrat Sumatra 1871 jelas merupakan ancaman bagi Aceh.
Karena itu Aceh berusaha untuk memperkuat diri, yakni mengadakan hubungan
dengan Turki, Konsul Italia, bahkan dengan Konsul Amerika Serikat di Singapura.
Tindakan Aceh ini sangat mengkhawatirkan pihak Belanda karena Belanda tidak
ingin adanya campur tangan dari luar. Belanda memberikan ultimatum, namun Aceh
tidak menghiraukannya. Selanjutnya, pada tanggal 26 Maret 1873, Belanda
memaklumkan perang kepada Aceh.
b.Jalannya
Perlawanan
Sebelum
terjadi peperangan, Aceh telah melakukan persiapan-persiapan. Sekitar 3.000
orang dipersiapkan di sepanjang pantai dan sekitar 4.000 orang pasukan
disiapkan di lingkungan istana. Pada tanggal 5 April 1873, pasukan Belanda di
bawah pimpinan Mayor Jenderal J.H.R. Kohler melakukan penyerangan terhadap
Masjid Raya Baiturrahman Aceh. Pada tanggal 14 April 1873, Masjid Raya Aceh
dapat diduduki oleh pihak Belanda dengan disertai pengorbanan besar, yakni
tewasnya Mayor Jenderal Kohler.
Setelah
Masjid Raya Aceh berhasil dikuasai oleh pihak Belanda, maka kekuatan pasukan
Aceh dipusatkan untuk mempertahankan istana Sultan Mahmuh Syah. Dengan
dikuasainya Masjid Raya Aceh oleh pihak Belanda, banyak mengundang para tokoh
dan rakyat untuk bergabung berjuang melawan Belanda. Tampilah tokoh-tokoh
seperti Panglima Polim, Teuku Imam Lueng Bata, Cut Banta, Teungku Cik Di Tiro,
Teuku Umar dan isterinya Cut Nyak Dien. Serdadu Belanda kemudian bergerak
untuk menyerang istana kesultanan, dan terjadilah pertempuran di istana
kesultanan. Dengan kekuatan yang besar dan semangat jihad, para pejuang Aceh
mampu bertahan, sehingga Belanda gagal untuk menduduki istana.
Pada
akhir tahun 1873, Belanda mengirimkan ekspedisi militernya lagi secara
besar-besaran di bawah pimpinan Letnan Jenderal J. Van Swieten dengan
kekutan 8.000 orang tentara. Pertempuran seru berkobar lagi pada awal
tahun 1874 yang akhirnya Belanda berhasil menduduki istana kesultanan. Sultan
beserta para tokoh pejuang yang lain meninggalkan istana dan terus melakukan
perlawanan di luar kota. Pada tanggal 28 Januari 1874, Sultan Mahmud Syah
meninggal, kemudian digantikan oleh putranya yakni
Muhammad
Daud Syah. Sementara itu, ketika utusan Aceh yang dikirim ke Turki, yaitu Habib
Abdurrachman tiba kembali di Aceh tahun 1879 maka kegiatan penyerangan ke
pos-pos Belanda diperhebat. Habib Adurrachman bersama Teuku Cik Di Tiro dan
Imam Lueng Bata mengatur taktik penyerangan guna mengacaukan dan memperlemah
pos-pos Belanda.
Menyadari
betapa sulitnya mematahkan perlawanan rakyat Aceh, pihak Belanda berusaha
mengetahui rahasia kekuatan Aceh, terutama yang menyangkut kehidupan
sosial-budayanya. Oleh karena itu, pemerintah Belanda mengirim Dr. Snouck
Hurgronye (seorang ahli tentang Islam) untuk meneliti soal sosial budaya masyarakat
Aceh. Dengan menyamar sebagai seorang ulama dengan nama Abdul Gafar, ia
berhasil masuk Aceh.
Hasil
penelitiannya dibukukan dengan judul De Atjehers (Orang Aceh). Dari hasil
penelitiannya dapat diketahui bahwa sultan tidak mempunyai kekuatan tanpa
persetujuan para kepala di bawahnya dan ulama mempunyai pengaruh yang sangat
besar di kalangan rakyat. Dengan demikian langkah yang ditempuh oleh Belanda
ialah melakukan politik “de vide et impera ( memecah belah dan
menguasai). Cara yang ditempuh kaum ulama yang melawan harus dihadapi dengan
kekerasan senjata; kaum bangsawan dan keluarganya diberi kesempatan untuk masuk
korps pamong praja di lingkungan pemerintahan kolonial.
Belanda
mulai memikat hati para bangsawan Aceh untuk memihak kepada Belanda. Pada bulan
Agustus 1893, Teuku Umar menyatakan tunduk kepada pemerintah Belanda dan
kemudian diangkat menjadi panglima militer Belanda. Teuku Umar memimpin 250
orang pasukan dengan persenjataan lengkap, namun kemudian bersekutu dengan
Panglima Polim menghantam Belanda. Tentara Belanda di bawah pimpinan J.B.
Van Heutz berhasil memukul perlawanan Teuku Umar dan Panglima Polim. Teuku Umar
menyingkir ke Aceh Barat dan Panglima Polim menyingkir ke Aceh Timur. Dalam
pertempuran di Meulaboh pada tanggal 11 Februari 1899, Teuku Umar gugur.
Sementara itu, Panglima Polim dan Sultan Muhammad
Daud Syah, masih melakukan perlawanan di Aceh Timur. Belanda berusaha melakukan
penangkapan. Pada tanggal 6 September 1903 Panglima Polim beserta 150 orang
parjuritnya menyerah setelah Belanda melakukan penangkapan terhadap
keluarganya. Hal yang sama juga dilakukan terhadap Sultan Muhammad Daud Syah.
Pada tahun 1904, Sultan Aceh dipaksa untuk menan-datangani Plakat Pendek yang
isinya sebagai berikut.
1)Aceh
mengakui kedaulatan Belanda atas daerahnya.
2)Aceh
tidak diperbolehkan berhubungan dengan bangsa lain selain dengan belanda.
3)Aceh
menaati perintah dan peraturan Belanda.
Dengan
ini, berarti sejak 1904 Aceh telah berada di bawah kekuasaan pemerintah
Belanda.